Premis-premis Kontraposisi dan Biimplikatif

•February 22, 2009 • 22 Comments

(v1.0.0.0)

Dalam diskusi-diskusi di blog maupun di forum maya, sering saya dapati debat kusir yang berujung pada ketidakpastian arah diskusi bahkan hingga caci maki. Dalam diskusi yang lain, saya sering jumpai juga diskusi yang stagnan serta tidak berkembang pemikirannya. Misalnya diskusi antara aktivis ekstraparlementer dengan aktivis intraparlementer mengenai masalah demokrasi. Masing-masing pihak berkeras diri dengan tanggapan yang berasal dari alur berpikirnya tanpa menyamakan suhu terlebih dahulu. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini saya akan memberikan justifikasi mengenai biang keladi kekacauan pemikiran dalam diskusi-diskusi tersebut.

Dalam melakukan analisis terhadap alur berpikir pada argumen-argumen yang terlibat dalam diskusi tersebut, saya menemukan bahwa kekacauan artikulasi terjadi akibat premis-premis kontraposisi.

Apakah yang dimaksud dengan premis kontraposisi?? premis kontraposisi secara sederhana bisa diartikan sebagai premis yang dijadikan sebagai suatu antitesis namun tidak memiliki hubungan negasi langsung terhadap tesisnya. Adapun premis antitesis yang memiliki hubungan negasi terhadap tesisnya adalah premis biimplikatif.

Saya cantumkan sedikit contoh penggunaan pemikiran yang mengandung premis kontraposisi, supaya para pembaca bisa lebih memahami premis-premis ini:

schlachthausabattoir : “Dalam menulis suatu tesis awal, hendaknya seorang penulis telah melakukan penelaahan serta mencantumkan data-data yang memuat kepastian atas kebenaran alur berpikirnya.”

todafan : “Sebetulnya permasalahan yang timbul ketika menulis pemikiran awal adalah….polarisasi tulisan. Tatkala kita mencoba membuat sebuah tulisan “sempurna” yang tanpa polarisasi dan pertentangan, maka timbul sebuah tanda tanya besar “Apa efek tulisan ini bagi masyarakat yang membacanya?””

Dapat dilihat dari adu argumen antara schlachthausabattoir dan todafan diatas. Dalam argumen awal, schlachthausabattoir mengungkapkan pemikirannya tentang pembuatan sebuah tulisan dimana acuannya adalah terbentuknya suatu pemikiran yang logis. Namun todafan memberikan tanggapan yang tidak berhubungan langsung dengan pokok pikiran dari argumen schlachthausabattoir. Todafan tiba-tiba memberikan argumen dengan acuan pemikiran yang berbeda, yaitu polarisasi pemikiran yang mengakibatkan pertentangan.

Nah, antara premis “terbentuknya pemikiran yang logis” dengan premis “polarisasi pemikiran yang mengakibatkan pertentangan” tidak berhubungan negasi atau berada dalam konteks yang sama. Tetapi premis-premis ini berada pada konteks yang berbeda. Artinya, meski premis todafan bertujuan menentang premisnya schlachthausabattoir, premisnya todafan tidak memuat jawaban “bagaimana yang seharusnya pengembangan tulisan itu”. Dan bahkan meski premis kontraposisi todafan memuat jawaban “mengapa premis schlachthausabattoir tidak tepat”, tetapi alur yang mengarah kepada pertanyaan “mengapa” tersebut tidak terbentuk. Hakl ini dikarenakan pokok pikiran schlachthausabattoir tidak terapresiasi. Jika demikian halnya, akan sangat mudah terjadi kebingungan.

Namun akhirnya, karena schlachthausabattoir mampu menyusun pemikiran secara deduktif dan dapat berdiskusi dengan pola pikir seperti itu, akhirnya argumen todafan pun dapat dijawab tanpa kehilangan arah diskusi. Meski tidak kehilangan arah tapi schlachthausabattoir mesti menyesuaikan argumen dengan alurnya todafan, artinya acuan pemikiran yang dibahas jadi berubah dari topik tulisan menjadi argumennya todafan. Ini biasa terjadi jika lawan diskusi memberikan argumen dalam pola pikir secara induktif dari kerangka berpikir yang menjadi bahasan diskusi. Orang yang dikomentari akan kerja lebih berat daripada yang memberikan komentar. Karena dia akan berusaha mengembangkan pokok pemikirannya hingga menyentuh permasalahan yang dijadikan acuan bagi sang tukang komentar. Sementara sang tukang komentar, karena sejak awal tidak mengapresiasi pokok pikiran dalam tulisan, dia tidak perlu mengembangkan acuan pemikirannya sampai menyentuh masalah yang ada dalam pokok pikiran tulisan. Dia hanya menunggu hingga sang penulis menjawabnya dengan hasil pengembangan pemikiran penulis.

Kejadian seperti ini dapat dibilang kurang fair, karena pemikiran yang lebih kompleks dipaksa berhadapan dengan pemikiran yang lebih sederhana, sementara premis yang menjadi acuan belum disepakati. Kejadian ini akan bertambah lebih parah jika masing-masing penulis dan tukang komentar adalah orang-orang yang berpikir secara induktif. Tidak dapat dibayangkan bagaimana premis-premis kontraposisi akan bertebaran  saling bersahutan. Tidak akan terjadi pemikiran. Yang ada malah informasi-informasi yang tidak jelas hubungannya.

Oleh karena itu, supaya terjadi pembangunan pemikiran yang sehat dalam diskusi, hendaknya yang digunakan untuk saling mengomentari dan menanggapi adalah premis-premis biimplikatif. Yaitu dengan mengapresiasi pokok pikiran dari penulisan.

Misalnya jika schlachthausabattoir menyampaikan tentang pembangunan pemikiran dengan penelaahan dan pencantuman data-data yang memuat kepastian kebenaran tulisan, maka seharusnya dijawab dengan pemikiran mengenai “bagaimana seharusnya tulisan itu dibangun”, mulai dari acuan pembuatan tulisan hingga pengembangan pemikirannya. Dan jawaban seperti ini selain bersifat negasi terhadap pokok pemikiran dalam tulisan schlachthausabattoir, juga memuat pengembangan pemikiran negasi yang mengarah pada acuan kerangka berpikir todafan(menjawab pertanyaan  “mengapa” – red).

Sehingga dengan demikian, dapat langsung terlihat mana pemikiran yang benar dan mana pemikiran yang salah tanpa harus terjadi debat kusir. Meski tentu saja kerangka berpikir todafan pun dapat diuji verifikasi(dan itulah yang dilakukan schlachthausabattoir…). Tetapi mekipun perdebatan masih dapat berlangsung, telah terjadi kesamaan suhu antara penulis dan tukang komentar. Dan mereka melanjutkan pengembangan pemikiran dalam konteks yang sama.

Oleh karena itu, hemat saya kepada para pembaca sekalian, jika pembaca yang budiman berada dalam posisi sebagai orang yang menaggapi atau mengomentari, hendaknya menanggapi dengan premis-premis biimplikatif, bukan premis-premis kontraposisi. Yaitu dengan mencermati pokok pikiran dalam hal yang ditanggapi dan mengapresiasinya dengan pengembangan pemikiran dari premis yang menurut pembaca harus dijadikan acuan. Jangan sampai terjadi debat kusir gara-gara masing-masing pihak saling menanggapi dengan premis-premis kontraposisi.

Perlu dicermati juga, permasalahan mengenai premis-premis kontraposisi dan biimplikatif tidak hanya terjadi pada tulisan ataupun media-media diskusi. Permasalahn ini juga dapat terjadi pada konteks benturan pemikiran yang lebih besar. Yaitu misalnya konstelasi politik negara. Salah seorang teman saya pernah berkata, “Mungkin penyebab lemahnya gerakan mahasiswa saat ini dikarenakan yang mereka suarakan adalah pemikiran-pemikiran yang kontraposisi terhadap keadaan masyarakat”.

Jika demikian halnya, maka untuk terciptanya pertentangan pemikiran yang lebih dahsyat di masyarakat, harus diteliti lebih jauh apa permasalahan sesungguhnya yang menyebabkan kekacauan dan kesengsaraan. Jika permasalahan utamanya adalah pelaksanaan ideologi kapitalisme, maka sudah saatnya mahasiswa melakukan perjuangan yang menegasikan ideologi tersebut. Yaitu dengan perjuangan yang ideologis pula.

Demikian saya sampaikan justifikasi saya terhadap kekacauan artikulasi pemikiran baik dalam media-media diskusi maupun dalam konteks benturan pemikiran yang lebih besar. Supaya tiap-tiap orang dapat selalu berpikir jernih dan mencermati pengembangan pemikiran dalam media-media yang dia ikuti. Tidak sekedar latah memberikan argumen tanpa peduli seperti apa pemikiran yang sedang berkembang. Apalagi sampai bersikap keras kepala dan tidak mau kalah serta terjerumus kedalam romantisme…

[Keterangan v1.0.0 .0 : ini tulisan baru dengan contoh penggunaan premis-premis kontraposisi dan biimplikatif yang masih sederhana dan masih terdapat dalam ingatan saya. Jika saya menemukan lebih banyak contoh-contoh lain akan saya usahakan untuk update artikel ini.]

Mengapa susah banget nulis??!!

•February 18, 2009 • 9 Comments

(update v1.0.1)

Yaa bisa dilihat sendiri, kenapa blog ini sudah setahun lebih masih kosong. Hanya ada dua tulisan, tulisan pertama cuma tulisan teu puguh. Hanya ekspresi pertama ketika membuat blog. Tulisan kedua juga cuma tulisan maen-maen yang ditulis sambil stress memikirkan “what i want to achieve in this life”(yang sampai sekarang belum ketemu-ketemu juga).

Kalau tulisan-tulisan yang menggambarkan perasaan jiwa, mungkin gampang untuk dijalankan. Tinggal mengeluarkan apa yang ada dalam otak, tanpa pikir panjang untuk menyesuaikan hubungan semiotik dalam kata-katanya. Masalahnya sesuai judul baru blog ini, saya bukan orang yang suka romantisme. Sebuah tulisan yang ingin saya buat minimal mencakup pemikiran atas suatu permasalahan, tidak peduli apakah permasalahan tersebut diapresiasi penting atau tidak penting oleh orang-orang. Yang penting ada alur logikanya.

Namun bukan berarti saya juga jarang sekali menulis. Yang membuat saya membuat blog ini juga karena saya punya hasrat terpendam untuk mengeluarkan segala pemikiran yang ada dalam otak saya. Sebenarnya kalau hanya menulis tulisan yang ada alur berpikir, setiap hari saya bisa membuat tulisan semacam itu rata-rata sebanyak 7 tulisan perhari. Panjang tulisan satu sampai empat paragraf kecil. Tapi tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan komentar di dunia maya yang menanggapi pemikiran dalam tulisan orang lain.

Lantas apa bedanya tulisan komentar dengan tulisan pemikiran biasa? Suatu tulisan komentar yang biasa saya tuliskan hanya dihasilkan dari penalaran saya terhadap logika berpikir dalam tulisan yang saya komentari. Saya cukup melakukan uji verifikasi terhadap alur logika yang sudah dibentuk. Tinggal dilihat apakah premis-premis yang membentuk pemikiran tersebut sudah sesuai dengan hukum-hukum logika. Selain itu saya juga melakukan uji falsifikasi dengan membandingkan pemikiran saya sebelumnya dan pengetahuan yang saya miliki. Dari dua pengujian tersebut saya dapat membuat sebuah komentar yang merumuskan kembali alur berpikir pada tulisan yang saya komentari.

Bagaimana dengan tulisan pemikiran biasa(mohon maaf, saya sulit mencari istilah yang sesuai)? Dalam sebuah tulisan pemikiran yang terdapat pemahaman atas suatu permasalahan, sang penulis membutuhkan waktu untuk mengkontemplasikan informasi-informasi yang ada dikepalanya dan berusaha merangkainya dalam alur deduktif. Semakin tersusun pola-pikirnya, semakin cepat dia berkontemplasi. Sebaliknya, semakin kacau pola-pikirnya dan semakin banyak informasi yang dimilikinya akan menambah kesemrawutan informasi dalam otaknya yang mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk berkontemplasi akan semakin lama.

Selanjutnya pemikiran mengenai permasalahan yang akan dituliskan dibangun dengan premis-premis yang sebelumnya sudah diketahui oleh sang penulis. Apabila dalam penyusunan pemahaman tersebut terdapat premis yang belum diketahui bentuknya, apakah itu dikarenakan kekurangan data untuk membuat konklusi atau miskin konsep permasalahan, maka sang penulis harus melakukan pencarian informasi atau penelaahan lebih lanjut untuk melengkapi premis-premisnya. Setelah alur premis-premis tersebut selesai, selanjutnya tinggal melakukan evaluasi atas alur berpikir yang telah disusun. Sebaiknya dilakukan uji verifikasi sendiri dahulu sebelum diuji oleh pembaca.

Dari pemaparan diatas dapat dilihat betapa jauh lebih mudah menjadi seorang tukang komentar dibandingkan menjadi seorang penulis. Seorang tukang komentar tinggal mengamati alur berpikir yang telah dibuat sehinga dia tidak perlu menentukan batas dalam analisisnya dikarenakan sudah tersedia dalam kerangka berpikir tulisan. Bila ada premis yang dia tidak miliki sebelumnya, maka dia tinggal menyerapnya menjadi informasi baru di otaknya. Informasi baru tersebut dia sesuaikan dalam alur berpikir yang dia miliki sebelumnya sambil mengamati lebih lanjut tulisan yang akan dia komentari. Dalam sekejap sang tukang komentar dapat langsung menilai tulisan tersebut benar atau salah, lengkap atau tidak. Jika sang tukang komentar lebih berpengetahuan dibanding sang penulis, maka biasanya tulisan komentarnya bisa panjang karena dia merumuskan kembali hampir seluruh kerangka berpikir tulisan bahkan ditambah kerangka berpikir yang dia miliki. Bila sang tukang komentar tidak lebih berpengetahuan, komentarnya akan pendek dan mengemukakan analisisnya terhadap hubungan premis-premis yang telah ada saja, bahkan no comment.

Namun seorang penulis harus berusaha keras menyusun informasi-informasi dikepalanya, mengevaluasi batasan topik dari perkembangan premis-premis yang dia miliki, serta melakukan pencarian informasi dan penelaahan terhadap konsep masalah.

Apalagi dalam kondisi yang saya alami, bacaan buku saya juga tidak terpolarisasi terhadap satu pemikiran. Saya juga masih mengaji di berbagai tempat. Hal ini semakin menyulitkan saya dalam berkontemplasi. Ditambah lagi saya adalah orang yang sangat perfeksionis. Premis-premis dalam pemikiran yang akan dipublish haruslah terbukti kebenarannya dalam alur berpikirnya masing-masing tanpa peduli seberapa kompleks permasalahan yang harus saya telaah. Dan karena hal ini, evaluasi terhadap batasan topik seringkali membuat tulisan harus berubah kerangka berpikirnya dari pendahuluan hingga kesimpulannya. Kerangka berpikir saya bisa berubah 180 derajat ketika membuat sebuah tulisan, karena dalam penelaahan permasalahan sering saya temukan kesalahan konsep awal yang saya miliki.

Sebagai contoh, dulu ketika saya ingin membuat sebuah kajian tentang kenaikan harga BBM, pemikiran awal yang saya miliki adalah kenaikan tersebut akan menyengsarakan masyarakat. Kemudian saya mendetilkan apa yang dimaksud dengan menyengsarakan. Dari sini saya harus mencari informasi mengenai pengaruh langsung kenaikan BBM terhadap sektor-sektor perekonomian. Dari pengaruh-pengaruh yang terjadi tersebut saya juga lantas mencari bagaimana respon sektor-sektor perekonomian tersebut terhadap terjadinya kenaikan. Apakah masih mampu berkembang? Ataukah mampu beradaptasi? Untuk menjawab itu saya perlu menganalisa bagaimana cara sektor-sektor tersebut berkembang dan beradaptasi terhadap pertumbuhan ekonomi? Dari penelaahan ini akhirnya saya malah mempelajari banyak hal mulai dari mekanisme sektor keuangan dan event yang terjadi seperti inflasi, fisher effect, sampai kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah. Jika premis-premis tersebut telah jelas maka saya bisa menyimpulkan secara komprehensif apakah kebijakan ini menyengsarakan atau tidak. Tapi belum selesai. Karena adanya kebijakan lain dari pemerintah yang menyertai penaikan harga BBM, maka sayapun harus menganalisis keefektifan kebijakan-kebijakan tersebut. Dan penganalisaannya juga mau tidak mau harus mengikuti arah yang telah dilakukan dalam pembahasan premis sebelumnya. Pada akhirnya karena terlalu rumit, akhirnya pemikiran inipun tidak selesai-selesai saya rumuskan. Saya akhirnya lebih menikmati nonton Tengen Toppa Gurren Lagann(sejenis anime mecha).

Demikianlah saya paparkan kesulitan yang dihadapi dalam menulis sebuah pemikiran. Sebenarnya saya sadar pemaparan ini kurang memberikan jawaban terhadap pertanyaan(sekaligus pernyataan) yang tercantum dalam judul tulisan ini. Tulisan ini hanya memberikan jawaban mengenai mengapa menulis komentar lebih mudah daripada menulis tesis awal(akhirnya saya temukan istilah yang bagus). Jawaban atas “mengapa susah banget nulis??!! itu jelas karena saya kurang bersungguh-sungguh…

[keterangan update v1.0.1 : perbaikan beberapa istilah dan kata-kata yang digunakan]

Nyoba!!

•January 8, 2008 • 14 Comments

nyoba dulu laa.. masih nubi kk..