(v1.0.0.0)
Dalam diskusi-diskusi di blog maupun di forum maya, sering saya dapati debat kusir yang berujung pada ketidakpastian arah diskusi bahkan hingga caci maki. Dalam diskusi yang lain, saya sering jumpai juga diskusi yang stagnan serta tidak berkembang pemikirannya. Misalnya diskusi antara aktivis ekstraparlementer dengan aktivis intraparlementer mengenai masalah demokrasi. Masing-masing pihak berkeras diri dengan tanggapan yang berasal dari alur berpikirnya tanpa menyamakan suhu terlebih dahulu. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini saya akan memberikan justifikasi mengenai biang keladi kekacauan pemikiran dalam diskusi-diskusi tersebut.
Dalam melakukan analisis terhadap alur berpikir pada argumen-argumen yang terlibat dalam diskusi tersebut, saya menemukan bahwa kekacauan artikulasi terjadi akibat premis-premis kontraposisi.
Apakah yang dimaksud dengan premis kontraposisi?? premis kontraposisi secara sederhana bisa diartikan sebagai premis yang dijadikan sebagai suatu antitesis namun tidak memiliki hubungan negasi langsung terhadap tesisnya. Adapun premis antitesis yang memiliki hubungan negasi terhadap tesisnya adalah premis biimplikatif.
Saya cantumkan sedikit contoh penggunaan pemikiran yang mengandung premis kontraposisi, supaya para pembaca bisa lebih memahami premis-premis ini:
schlachthausabattoir : “Dalam menulis suatu tesis awal, hendaknya seorang penulis telah melakukan penelaahan serta mencantumkan data-data yang memuat kepastian atas kebenaran alur berpikirnya.”
todafan : “Sebetulnya permasalahan yang timbul ketika menulis pemikiran awal adalah….polarisasi tulisan. Tatkala kita mencoba membuat sebuah tulisan “sempurna” yang tanpa polarisasi dan pertentangan, maka timbul sebuah tanda tanya besar “Apa efek tulisan ini bagi masyarakat yang membacanya?””
Dapat dilihat dari adu argumen antara schlachthausabattoir dan todafan diatas. Dalam argumen awal, schlachthausabattoir mengungkapkan pemikirannya tentang pembuatan sebuah tulisan dimana acuannya adalah terbentuknya suatu pemikiran yang logis. Namun todafan memberikan tanggapan yang tidak berhubungan langsung dengan pokok pikiran dari argumen schlachthausabattoir. Todafan tiba-tiba memberikan argumen dengan acuan pemikiran yang berbeda, yaitu polarisasi pemikiran yang mengakibatkan pertentangan.
Nah, antara premis “terbentuknya pemikiran yang logis” dengan premis “polarisasi pemikiran yang mengakibatkan pertentangan” tidak berhubungan negasi atau berada dalam konteks yang sama. Tetapi premis-premis ini berada pada konteks yang berbeda. Artinya, meski premis todafan bertujuan menentang premisnya schlachthausabattoir, premisnya todafan tidak memuat jawaban “bagaimana yang seharusnya pengembangan tulisan itu”. Dan bahkan meski premis kontraposisi todafan memuat jawaban “mengapa premis schlachthausabattoir tidak tepat”, tetapi alur yang mengarah kepada pertanyaan “mengapa” tersebut tidak terbentuk. Hakl ini dikarenakan pokok pikiran schlachthausabattoir tidak terapresiasi. Jika demikian halnya, akan sangat mudah terjadi kebingungan.
Namun akhirnya, karena schlachthausabattoir mampu menyusun pemikiran secara deduktif dan dapat berdiskusi dengan pola pikir seperti itu, akhirnya argumen todafan pun dapat dijawab tanpa kehilangan arah diskusi. Meski tidak kehilangan arah tapi schlachthausabattoir mesti menyesuaikan argumen dengan alurnya todafan, artinya acuan pemikiran yang dibahas jadi berubah dari topik tulisan menjadi argumennya todafan. Ini biasa terjadi jika lawan diskusi memberikan argumen dalam pola pikir secara induktif dari kerangka berpikir yang menjadi bahasan diskusi. Orang yang dikomentari akan kerja lebih berat daripada yang memberikan komentar. Karena dia akan berusaha mengembangkan pokok pemikirannya hingga menyentuh permasalahan yang dijadikan acuan bagi sang tukang komentar. Sementara sang tukang komentar, karena sejak awal tidak mengapresiasi pokok pikiran dalam tulisan, dia tidak perlu mengembangkan acuan pemikirannya sampai menyentuh masalah yang ada dalam pokok pikiran tulisan. Dia hanya menunggu hingga sang penulis menjawabnya dengan hasil pengembangan pemikiran penulis.
Kejadian seperti ini dapat dibilang kurang fair, karena pemikiran yang lebih kompleks dipaksa berhadapan dengan pemikiran yang lebih sederhana, sementara premis yang menjadi acuan belum disepakati. Kejadian ini akan bertambah lebih parah jika masing-masing penulis dan tukang komentar adalah orang-orang yang berpikir secara induktif. Tidak dapat dibayangkan bagaimana premis-premis kontraposisi akan bertebaran saling bersahutan. Tidak akan terjadi pemikiran. Yang ada malah informasi-informasi yang tidak jelas hubungannya.
Oleh karena itu, supaya terjadi pembangunan pemikiran yang sehat dalam diskusi, hendaknya yang digunakan untuk saling mengomentari dan menanggapi adalah premis-premis biimplikatif. Yaitu dengan mengapresiasi pokok pikiran dari penulisan.
Misalnya jika schlachthausabattoir menyampaikan tentang pembangunan pemikiran dengan penelaahan dan pencantuman data-data yang memuat kepastian kebenaran tulisan, maka seharusnya dijawab dengan pemikiran mengenai “bagaimana seharusnya tulisan itu dibangun”, mulai dari acuan pembuatan tulisan hingga pengembangan pemikirannya. Dan jawaban seperti ini selain bersifat negasi terhadap pokok pemikiran dalam tulisan schlachthausabattoir, juga memuat pengembangan pemikiran negasi yang mengarah pada acuan kerangka berpikir todafan(menjawab pertanyaan “mengapa” – red).
Sehingga dengan demikian, dapat langsung terlihat mana pemikiran yang benar dan mana pemikiran yang salah tanpa harus terjadi debat kusir. Meski tentu saja kerangka berpikir todafan pun dapat diuji verifikasi(dan itulah yang dilakukan schlachthausabattoir…). Tetapi mekipun perdebatan masih dapat berlangsung, telah terjadi kesamaan suhu antara penulis dan tukang komentar. Dan mereka melanjutkan pengembangan pemikiran dalam konteks yang sama.
Oleh karena itu, hemat saya kepada para pembaca sekalian, jika pembaca yang budiman berada dalam posisi sebagai orang yang menaggapi atau mengomentari, hendaknya menanggapi dengan premis-premis biimplikatif, bukan premis-premis kontraposisi. Yaitu dengan mencermati pokok pikiran dalam hal yang ditanggapi dan mengapresiasinya dengan pengembangan pemikiran dari premis yang menurut pembaca harus dijadikan acuan. Jangan sampai terjadi debat kusir gara-gara masing-masing pihak saling menanggapi dengan premis-premis kontraposisi.
Perlu dicermati juga, permasalahan mengenai premis-premis kontraposisi dan biimplikatif tidak hanya terjadi pada tulisan ataupun media-media diskusi. Permasalahn ini juga dapat terjadi pada konteks benturan pemikiran yang lebih besar. Yaitu misalnya konstelasi politik negara. Salah seorang teman saya pernah berkata, “Mungkin penyebab lemahnya gerakan mahasiswa saat ini dikarenakan yang mereka suarakan adalah pemikiran-pemikiran yang kontraposisi terhadap keadaan masyarakat”.
Jika demikian halnya, maka untuk terciptanya pertentangan pemikiran yang lebih dahsyat di masyarakat, harus diteliti lebih jauh apa permasalahan sesungguhnya yang menyebabkan kekacauan dan kesengsaraan. Jika permasalahan utamanya adalah pelaksanaan ideologi kapitalisme, maka sudah saatnya mahasiswa melakukan perjuangan yang menegasikan ideologi tersebut. Yaitu dengan perjuangan yang ideologis pula.
Demikian saya sampaikan justifikasi saya terhadap kekacauan artikulasi pemikiran baik dalam media-media diskusi maupun dalam konteks benturan pemikiran yang lebih besar. Supaya tiap-tiap orang dapat selalu berpikir jernih dan mencermati pengembangan pemikiran dalam media-media yang dia ikuti. Tidak sekedar latah memberikan argumen tanpa peduli seperti apa pemikiran yang sedang berkembang. Apalagi sampai bersikap keras kepala dan tidak mau kalah serta terjerumus kedalam romantisme…
[Keterangan v1.0.0 .0 : ini tulisan baru dengan contoh penggunaan premis-premis kontraposisi dan biimplikatif yang masih sederhana dan masih terdapat dalam ingatan saya. Jika saya menemukan lebih banyak contoh-contoh lain akan saya usahakan untuk update artikel ini.]
Recent Comments